MAKALAH
MENGI’ROB
MUBTADA’, KHABAR, KHABAR MUQADDAM, MUBTADA’-MUAKHAR, KABAR JUMLAH DAN SYIBH
JUMLAH
Disusun
Oleh: Phuyi hayati
NIM:6571010115127
Semester
: Empat
Dosen : Hermanto, SS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH OTTO
ISKANDAR DINATA /OTISTA
Jl.
Raya Puspiptek, gang.salem III Rt/002 Rw/007Serpong
Kata
Pengantar
Segala
puji hanya milik Allah Swt,Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmatNya saya dapat
menyelesaikan penyusunan tugas makalah iniguna memenuhi tugas mata kuliah
QIROATUL KUTUB I. Semoga makalah sayayang sangat sederhana ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan maupun pedoman bagi pembaca dalam
administrasi pendidikan agama Islam didalam profesi keguruan.
Harapan
saya makalah saya ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk
maupun isi dari makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Saya
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna
karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh karena itu kepada Dosen pembimbing, saya meminta masukannya
demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan saya
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Daftar
Isi
Kata
Pengantar…………………………………………………….. i
Daftar
Isi………………………………………………………….... ii
A.Pengertian I’rab…………………………………….….. 1
B.Macam-macam I’rab……………………………….... 1
C.Tanda Asal I’rab………………………. …………….... 1
DASAR-DASAR
KALIMAT SUSUNAN JUMLAH ISMIYAH…. 5
A.I’rab
Mubtada dan Khabar
B.
Khabar dan Bentuk-bentuknya………………………………….
6
C.
Syarat Kebolehan Mubtada dari Isim Nakirah………………….. 7
D.
Perihal Kebolehan Mendahulukan Khabar
dari Mubtada……... 7
E.
Pelarangan Mendahulukan Khabar dari Mubtadanya………… 8
F.
Khabar Wajib di Dahulukan dari Mubtadanya……………….... 8
G.
Khabar yang Wajib di Buang…………………………………….
9
SYIBHUL
JUMLAH……………………………………………….. 10
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………….. 11
Pembahasan
A.
Pengertian ‘irab
Para
ulama nahwu mendefinisikan ‘irabdengan berbagai bentuk yang berbeda. Akan tetapi,
perbedaan tersaebut mengarah pada tujuan dan maksud yang sama. Menurut Syekh
Zaini Dahlan dalam kitab Matan al- jurumiyah, ‘irab adalah perubahan keadaan
akhir kata karena perbedaan beberapa amil (penyebab perubahan akhir kata) yang
menyertainya, baik secara lafal maupun perkiraan.
Hal
ini serupa dengan pendapat Musthafa al-Ghalayain dan Ahmad al- Hasyimi.Mereka
mrnyatakan bahwa ‘irab adalah perubahan akhir kata karena perbedaan amil-amil
yang masuk pada kata yang dimaksud.Dari pengertian tersebut, kita dapat
memahami bahwa segala sesuatu yang berubah karena amil maka disebut ‘irab.
Adapun
yang perlu kita tekankan di sini adalah bahwa amil yang mempengaruhi perubahan
bentuk akhir sebuah kata harus terletak sebelum kata (mendahului kata
tertentu). Jika amil itu tidak memberikan suatu pengaruh terhadap kata (tidak
berubahharakat akhir katanya) maka tidak bisa disebut ‘irab[1]
B.
MACAM-MACAM I’RAB
وَالْرَّفْعَ وَالْنَّصْبَ اجْعَلَنْ إعْرَابَا ¤ لاسْــمٍ
وَفِــعْــلٍ نَحْـوُ لَنْ أَهَـــــابَا
Jadikanlah Rofa’ dan
Nashab sebagai I’rab (sama bisa) untuk Isim dan Fi’il, seperti lafadz Lan
Ahaba.
وَالاسْمُ قَدْ خُصِّصَ بِالْجَرِّ كَمَا ¤ قَــدْ
خُصِّصَ الْفِعْـلُ بِأَنْ يَنْـجَزِمَا
Kalimah Isim dikhususi
dengan I’rab Jarr, sebagaimana juga Fi’il dikhususi dengan dii’rab Jazm.[2]
C.
TANDA ASAL I’RAB
فَارْفَعْ بِضَمَ وَانْصِبَنْ فَتْحَاً وَجُرْ ¤ كَسْــــــرَاً
كَــذِكْرُ اللَّهِ عَبْــدَهُ يَسُـرْ
Rofa’kanlah olehmu
dengan tanda Dhommah, Nashabkanlah! Dengan tanda Fathah, Jarrkanlah! Dengan
tanda Kasrah.Seperti lafadz Dzikrullahi ‘Abdahu Yasur.
وَاجْزِمْ بِتَسْكِيْنٍ وَغَيْرُ مَا ذُكِرْ ¤ يَنُــوْبُ
نَحْوُ جَا أَخْــو بَنِي نَمِــرْ
Dan Jazmkanlah! Dengan
tanda Sukun.Selain tanda-tanda yang telah disebut, merupakan penggantinya.
Seperti lafadz: Jaa Akhu Bani Namir.[3]
TANDA
I’RAB ASMAUS SITTAH
وَارْفَعْ بِــوَاوٍ وَانْصِبَنَّ بِالأَلِفْ ¤ وَاجْرُرْ
بِيَاءٍ مَا مِنَ الأَسْمَا أَصِفْ
Rofa’kanlah dengan
Wau, Nashabkanlah dengan Alif, dan Jarrkanlah dengan Ya’, untuk Isim-Isim yang akan
aku sifati sebagai berikut (Asmaus Sittah):
مِنْ ذَاكَ ذُو إِنْ صُحْبَةً أَبَانَا ¤ وَالْفَــــــمُ
حَيْثُ الْمِيْمُ مِنْهُ بَانَا
Diantara Isim-Isim itu
(Asmaus Sittah) adalah Dzu jika difahami bermakna Shahib (yg memiliki), dan
Famu sekiranya Huruf mim dihilangkan darinya.
أَبٌ آخٌ حَـــمٌ كَـــذَاكَ وَهَـــنُ ¤ وَالْنَّقْصُ
فِي هذَا الأَخِيْرِ أَحْسَنُ
Juga Abun, Akhun,
Hamun, demikian juga Hanu. Tapi dii’rab Naqsh untuk yang terakhir ini (Hanu)
adalah lebih baik.
وَفِي أَبٍ وَتَـالِيَيْهِ يَنْـــدُرُ ¤ وَقَصْرُهَا
مِنْ نَقْصِهِنَّ أَشْهَرُ
Dan untuk Abun berikut
yang mengiringinya (Akhun dan Hamun) jarang diri’rab Naqsh, sedangkan dii’rab
Qoshr malah lebih masyhur daripada I’rab Naqshnya.
وَشَرْطُ ذَا الإعْرَابِ أَنْ يُضَفْنَ لاَ ¤ لِلْيَــا
كَــجَا أَخْــو أَبِيْـــكَ ذَا اعْـــتِلاَ
Syarat I’rab ini
(Rafa’ dg wau, Nasha dg Alif, dan Jarr dg Ya’ pada Asmaus Sittah) harus Mudhaf
kepada selain Ya’ Mutakallim. Seperti: Jaa Akhu Abiika Dza-’tilaa.[4]
TANDA
I’RAB ISIM TATSNIYAH DAN MULHAQNYA
بِالأَلِفِ ارْفَع الْمُثَنَّى وَكِلاَ ¤ إذَا
بِمُـــضْمَرٍ مُضَــافَاً وُصِلاَ
Rafa’kanlah! dengan
Alif terhadap Isim Mutsanna, juga lafadz Kilaa apabila tersambung langsung
dengan Dhomir, dengan menjadi Mudhof.
كِلْتَا كَذَاكَ اثْنَانِ وَاثْنَتَانِ ¤ كَابْنَــيْنِ
وَابْنَتَيْــنِ يَجْــرِيَانِ
Juga (Rofa’ dg Alif)
lafadz Kiltaa, begitupun juga lafadz Itsnaani dan Itsnataani sama (I’rabnya)
dengan lafadz Ibnaini dan Ibnataini keduanya contoh yang dijarrkan.
وَتَخْلُفُ الْيَا فِي جَمِيْعِهَا الأَلِفْ ¤ جَــــرًّا
وَنَصْـــبَاً بَعْدَ فَتْـــحٍ قَدْ أُلِفْ
Ya’ menggantikan Alif
(tanda Rofa’) pada semua lafadz tsb (Mutsanna dan Mulhaq-mulhaqnya) ketika Jarr
dan Nashabnya, terletak setelah harkat Fathah yang tetap dipertahankan.[5]
TANDA
I’RAB JAMAK MUDZAKKAR SALIM DAN MULHAQNYA
وَارْفَعْ بِوَاوٍ وَبِيَا اجْرُرْ وَانْصِبِ ¤ سَــــــــالِمَ
جَمْعِ عَــــــــامِرٍ وَمُذْنِبِ
Rofa’kanlah dengan
Wau!, Jarrkan dan Nashabkanlah dengan Ya’! terhadap Jamak Mudzakkar Salim dari
lafadz “‘Aamir” dan “Mudznib”
وَشِبْهِ ذَيْنِ وَبِهِ عِشْرُوْنَا ¤ وَبَابُـــهُ
أُلْحِــقَ وَالأَهْــــلُوْنَا
….dan yang serupa dengan keduanya ini (“Aamir” dan “Mudznib”,
pada bait sebelumnya).Dan lafadz “‘Isyruuna dan babnya”, dimulhaqkan kepadanya
(I’rab Jamak Mudzakkar Salim). Juga lafadz “Ahluuna”
أوْلُو وَعَالَمُوْنَ عِلِّيّونَا ¤ وَأَرْضُـــوْنَ شَذَّ
وَالْسِّـنُوْنَا
Juga lafadz “Uluu,
‘Aalamuuna, ‘Illiyyuuna dan lafazh Aradhuuna adalah contoh yang syadz (paling
jauh dari definisi Jamak Mudzakkar Salim). Juga Lafadz “sinuuna….
وَبَابُهُ وَمِثْلَ حِيْنٍ قَـدْ يَرِدْ ¤ ذَا
الْبَابُ وَهْوَ عِنْدَ قَوْمٍ يَطَّرِدْ
…dan babnya”.
Terkadang Bab ini (bab sinuuna) ditemukan dii’rab semisal lafadz “Hiina”
(dii’rab harkat, dengan tetapnya ya’ dan nun) demikian ini ditemukan pada suatu
kaum (dari Ahli Nawu atau orang Arab)
وَنُوْنَ مَجْمُوْعٍ وَمَا بِهِ الْتَحَقْ ¤ فَافْــتَحْ
وَقَــلَّ مَنْ بِكَــسْرِهِ نَطَــقْ
Fathahkanlah! harakah “Nun”nya Kalimat yang
dijamak Mudzakkar Salim dan Mulhaqnya. Ada segelintir orang bercakap-cakap
dengan mengkasrahkannya.
وَنُوْنُ مَا ثُنِّيَ وَالْمُلْحَقِ بِهْ ¤ بِعَـــكْسِ
ذَاكَ اسْتَعْمَلُوْهُ فَانْتَبِهْ
Adapun “Nun”nya Kalimat yang ditatsniyahkan
dan Mulhaqnya, adalah terbalik (Harakah Nun dikasrahkan). Semuanya mengamalkan
demikian, maka perhatikanlah![6]
TANDA
I’RAB JAMAK MU’ANNATS SALIM DAN MULHAQNYA
وَمَا بِتَـــا وَأَلِــفٍ قَــدْ جُمِــعَا ¤ يُكْسَرُ
فِي الْجَرِّ وَفِي النَّصْبِ مَعَا
Setiap Kalimah yang
dijamak dengan tambahan Alif dan Ta’ (Jamak Muannats Salim) tanda Jarr dan
Nashabnya sama dikasrohkan.
كَذَا أُوْلاَتُ وَالَّذِي اسْمَاً قَدْ جُعِلْ ¤ كَــــأَذْرِعَــاتٍ
فِــيْهِ ذَا أَيْــضَاً قُــبِلْ
Begitu juga (Dii’rab
seperti Jamak Muannats Salim) yaitu lafadz “Ulaatu”. Dan Kalimah yang sungguh
dijadikan sebuah nama seperti lafadz “Adri’aatin” (nama tempat di Syam) yang
demikian ini juga diberlakukan I’rab seperti Jamak Mu’annats Salim.[7]
TANDA
I’RAB ISIM YANG TIDAK MUNSHORIF
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤ مَا
لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِفْ
Setiap Isim yang tidak Munshorif dijarrkan
dengan Harakah Fathah, selama tidak Mudhof atau tidak jatuh sesudah AL.[8]
TANDA
I’RAB AF’ALUL KHOMSAH
وَاجْعَلْ لِنَحْوِ يَفْعَلاَنِ الْنُّوْنَا ¤ رَفْـــعَاً
وَتَدْعِــيْنَ وَتَسْـــــأَلُونَا
Jadikanlah! Nun
sebagai tanda Rofa’ untuk contoh Kalimah-kalimah yang seperti lafadz يفعلان (Fi’il
Mudhori’ yg disambung dg Alif Tatsniyah) dan lafadz تدعين (Fi’il
Mudhori’ yg disambung dg Ya’ Mu’annats Mukhatabah) dan lafadz تسألون (Fi’il
Mudhori’ yg disambung dg Wau Jamak).
وَحَذْفُهَا لِلْجَزْمِ وَالْنَّصْبِ سِمَهْ ¤ كَــلَمْ
تَكُــــوْنِي لِتَرُوْمِي مَـــظْلَمَهْ
Sedangkan tanda Jazm
dan Nashabnya, yaitu dengan membuang Nun.seperti contoh َلمْ
تَكُــــوْنِي لِتَرُوْمِي مَـــظْلَمَهْ[9]
TANDA
I’RAB ISIM MU’TAL (ISIM MAQSHUR DAN ISIM MANQUSH)
وَسَمِّ مُعْتَلاًّ مِنَ الأَسْمَاءِ مَا ¤ كَالْمُصْطَفَى
وَالْمُرْتَقَي مَكَارِمَا
Namailah! Isim Mu’tal,
terhadap Isim-Isim yang seperti lafadz الْمُصْطَفَى (Isim yang
berakhiran huruf Alif) dan seperti lafadz الْمُرْتَقَي مَكَارِمَا
(Isim yang berakhiran huruf Ya’).
فَالأَوَّلُ الإِعْرَابُ فِيْهِ قُدِّرَا ¤ جَمِيْـعُهُ
وَهْوَ الَّذِي قَدْ قُصِرَا
Contoh lafadz yang
pertama (الْمُصْطَفَى) Semua tanda I’rabnya dikira-kira, itulah
yang disebut Isim Maqshur.
وَالْثَّانِ مَنْقُوصٌ وَنَصْبُهُ ظَهَرْ ¤ وَرَفْـعُهُ
يُنْــوَى كَذَا أيْضَــــاً يُجَرْ
Contoh lafadz yang
kedua (الْمُرْتَقَي) dinamakan Isim Manqush, tanda Nashabnya Zhohir.
Tanda Rofa’ dan juga Jarrnya sama dikira-kira.[10]
TANDA
I’RAB FI’IL MU’TAL
وَأَيُّ فِعْــلٍ آخِرٌ مِنْهُ أَلِفْ ¤ أوْ
وَاوٌ أوْ يَاءٌ فَمُعْتَلاًّ عُرِفْ
Setiap Kalimah Fi’il yang akhirnya huruf illat
Alif , Wau atau Ya’, maka dinamakan Fi’il Mu’tal.
فَالأَلِفَ انْوِ فِيْهِ غَيْرَ الْجَزْمِ ¤ وَأَبْـــدِ
نَصْبَ مَا كَيَدْعُو يَرْمِي
Kira-kirakanlah! I’rab
untuk Kalimah Fi’il yang berakhiran Alif pada selain Jazmnya. Dan Zhohirkanlah!
tanda nashab untuk Kalimah Fi’il yang seperti يَدْعُو (Berakhiran
huruf Wau) dan يَرْمِي (Berakhiran huruf Ya’)…
والرَّفعَ فيهما انْوِ واحذِفْ جازِمَا ¤ ثــلاثَـــهُنَّ
تَقــــضِ حُكمَــا لازِمَــــا
dan kira-kirakanlah!
tanda Rofa’ untuk kedua lafadz (يَدْعُو dan يَرْمِي ).
Buanglah (huruf-huruf illat itu) jika engkau sebagai orang yang menjazmkan
ketiga Kalimah Fi’il Mu’tal tsb, maka berarti engkau memutuskan dengan Hukum
yang benar.[11]
DASAR-DASAR
KALIMAT SUSUNAN JUMLAH ISMIYAH
·
Mubtada’ dan Khabar
مُبْتَـدَأ
زَيْدٌ وَعَـــاذِرٌ خَبَـــــرْ ¤ إِنْ قُلْتَ زَيْدٌ عَاذِرٌ مَنِ
اعْتَذَرْ
Adalah Mubtada’ yaitu
lafadz زيد , dan lafazh عاذر adalah Khabar, apabila kamu mengucapkan
kalimat: زيد عاذر من اعتذر. “Zaid adalah penerima alasan bagi orang yang mengemukakan alasan”
·
Mubtada’ dan Fa’il
وَأَوَّلٌ
مُبْـــتَدَأ وَالْثَّـــــانِي ¤ فَاعِلٌ اغْنَى فِي أَسَارٍ ذَانِ
Kalimah yang pertama
adalah Mubtada’, dan kalimah yang kedua adalah Fa’il yang mencukupi (tanpa
Khabar), didalam contoh kalimat: أ سار ذان “apakah yang berjalan malam, keduanya ini?” (أ = Huruf
Istifham, سار = Isim Sifat sebagai Mubtada’, ذان = sebagai Fa’il yg menempati
posisi Khabar)
وَقِسْ
وَكَاسْتِفْهَامٍ النَّفْيُ وَقَدْ ¤ يَجُوْزُ نَحْوُ فَائِزٌ أولُو الرَّشَدْ
Dan kiaskanlah! (untuk
contoh lain serupa أ سار ذان = yakni, Mubtada’ dari Isim sifat (isim fa’il/isim
maf’ul/isim musyabbah) yang diawali Istifham/kata tanya ( أ – هَلْ – كَيْفَ –
مَنْ – مَا ) dan Fa’ilnya bisa isim Zhahir atau isim Dhamir). Juga seperti
Istifham yaitu Nafi ( semua nafi yang pantas masuk pada isim ( مَا – لاَ – إِنْ
– غَيْرُ – لَيْسَ ) dan terkadang boleh (tanpa awalan Istifham atau Nafi tapi
jarang) seperti contoh lafazh: فَائِزٌ أُولُو الرَّشَدْ “Yang beruntung mereka yg
mendapat petunjuk”
وَالْثَّانِ
مُبْتَدَا وَذَا الْـوَصْفُ خَــبَرْ ¤ إِنْ فِي سِوَى الإِفْرَادِ طِبْقاً
اسْتَقَرْ
Kalimah yg kedua
adalah mubtada’ (menjadi Mubtada’ muakhkhar). Dan Isim Sifatnya ini
(kalimah yg pertama) adalah Khabar (menjadi Khabar Muqaddam), apabila pada
selain bentuk mufradnya ia menetapi kecocokan (yakni, sama-sama berbentuk
Mutsanna atau jama’ misal: أ ساران ذان).[12]
A.I’RAB MUBTADA’ DAN
KHABAR
وَرَفَعُـــوا
مُبْتَدَأ بالابْــتَدِا¤ كَذَاكَ رَفْعُ خَبَرٍ باْلمُبْتَدَأ
Mereka (orang arab)
me-rofa’kan Mubtada’ karena sebab Ibtida’ (‘Amil secara Ma’nawi, yakni
menjadikan isim sebagai Pokok/Subjek kalimat, dikedepankan sebagai sandaran
bagi kalimah lain sekalipun secara Lafzhi ada di belakang (mubtada’
muakhkhar)). Demikian juga rofa’-nya Khobar disebabkan oleh Mubtada’.
B.KHABAR DAN
BENTUK-BENTUKNYA
·
Pengertian Khabar
وَالْخَبَرُ
الْجُزْء الْمُتِمُّ الْفَائِدَهْ ¤ كَاللَّه بَرُّ وَالأَيَـادِي شَـاهِدَهْ
Pengertian Khabar
adalah juz/bagian penyempurna faidah, yang seperti kalimat: اللهُ بَرٌّ
وَالأَيَادِي شَاهِدَةٌ “Allah adalah maha pemberi kabajikan. Dan kejadian-kejadian besar
adalah sebagai saksi”.
·
Khabar Jumlah
وَمُفْــرَدَاً
يَأتِي وَيَأتِـي جُــمْلَهْ ¤ حَاوِيَةً مَعْنَى الَّذِي سِيْقَتْ لَهْ
Khabar ada yang datang
berbentuk Mufrad (Khabar Mufrad, tidak terdiri dari susunan kata). Dan ada yang
datang berbentuk Jumlah (Khabar Jumlah, tersusun dari beberapa kata) yg
mencakup ada makna mubtada’(ada Robit/pengikat antara Mubtada’ dan Khabar
jumlahnya), dimana Jumlah tsb telah terhubung (sebagai khobar) bagi
Mubtada’nya.
وَإِنْ
تَكُـنْ إيَّـاهُ مَعْنَى اكْتَـــفَى ¤ بِهَا كَنُطْقِي اللَّهُ حَسْبِي وَكَفَى
Dan apabilah Jumlah
tsb sudah berupa makna mubtada’, maka menjadi cukuplah Khabar dengannya (tanpa
Robit) seperti contoh : نُطْقِى اللهُ حَسْبِي وَكَفَى “adapun ucapanku: “Allah
memadai dan cukup bagiku””
·
Khabar Mufrad
وَالْمُفْــرَدُ
الْجَــامِدُ فَارِغٌ وَإِنْ ¤ يُشْتَقَّ فَهْوَ ذُو ضَمِيْرٍ مُسْتَكِنّ
Adapun khabar mufrad
yang terbuat dari isim jamid (isim yang tidak bisa ditashrif ishtilahi) adalah
kosong (dari dhamir) dan apabila terdiri dari isim yang di-musytaq-kan (isim
musytaq hasil pecahan dari tashrif istilahi) maka ia mengandung dhamir yang tersembunyi
(ada dhamir mustatir kembali kepada mubtada’/sebagai robit).
وَأَبْرِزَنْهُ
مُطْلَقَـاً حَيْثُ تَلاَ ¤ مَا لَيْسَ مَعْنَاهُ لَهُ مُحَصَّلاَ
Dan sungguh
Bariz-kanlah! (gunakan Dhamir Bariz, bukan Mustatir) pada khabar mufrad musytaq
tsb secara mutlak (baik Dhamirnya jelas tanpa kemiripan, apalagi tidak), ini
sekiranya khabar tsb mengiringi mubtada’ yang mana makna khabar tidak
dihasilkan untuk mubtada’ (khabar bukan makna mubtada’).
·
Khabar dari Zharaf dan Jar-Majrur
وَأَخْبَرُوَا
بِظَرْفٍ أوْ بِحَرْفِ جَرّ ¤ نَاوِيْنَ مَعْنَى كَائِنٍ أَوِ اسْتَقَــرْ
Mereka (ahli Nuhat dan
orang Arab) menggunakan Khabar dengan Zharaf atau Jar-Majrur, dengan niatan
menyimpan makna كَائِنٍ atau اسْتَقَرْ.
وَلاَ
يَكُوْنُ اسْـمُ زَمَانٍ خَبَرَا ¤ عَنْ جُثَّةٍ وَإِنْ يُفِدْ فَأَخْبِرَا
Tidak boleh ada Isim
Zaman (Zharaf Zaman) dibuat Khabar untuk Mubtada’ dari Isim dzat. Dan apabila
terdapat faidah, maka sungguh jadikan ia Khabar…!.[13]
C.SYARAT KEBOLEHAN
MUBTADA’ DARI ISIM NAKIRAH
وَلاَ
يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ ¤ مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ
نَمِرَهْ
Tidak boleh
menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah, (yakni,
boleh dengan persyaratan ada faidah) seperti contoh: عِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَةُ “adalah disisi Zaid
pakaian Namirah (jenis pakaian bergaris-garis yg biasa dipakai oleh orang A’rab
Badwi)” (khabarnya
terdiri dari zharaf atau jar-majrur yg dikedepankan dari mubtada’nya).
وَهَلْ
فَتَىً فِيْكُمْ فَمَا خِلٌّ لَنَا ¤ وَرَجُــلٌ مِنَ الْكِـرَامِ عِنْدَنَا
(dan disyaratkan juga:
) seperti contoh هَلْ فَتَىً فِيكُم “adakah seorang pemuda diantara kalian?” (diawali dengan
Istifham/kata tanya), dan contoh: مَا خِلٌّ لَنَا “tidak ada teman yang menemani kami” (diawali dengan Nafi),
dan contoh: رَجُلٌ مِنَ الكِرَامِ
عِنْدَنَا “seorang
lelaki yg mulia ada disisi kami” (disifati)
وَرَغْبَةٌ
فِي الْخَيْر خَيْرٌ وَعَمَلْ ¤ بِرَ يَزِيْنُ وَلْيُقَسْ مَا لَمْ يُقَـلْ
dan contoh: رَغْبَةٌ فِي الخَيْرِ
خَيْرٌ “gemar
dalam kebaikan adalah baik” (mengamal), dan contoh: عَمَلُ بِرٍّ يَزِينُ“berbuat kebajikan menghiasi (hidupnya)” (mudhaf). Dan
dikiaskan saja! contoh lain yang belum disebut.
D.PERIHAL KEBOLEHAN
MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’
وَالأَصْلُ
فِي الأَخْبَارِ أَنْ تُؤخَّرَا¤ وَجَـوَّزُوَا الْتَّقْــدِيْمَ إِذْ لاَ
ضَــرَرَا
Asal penyebutan Khabar
tentunya harus di-akhirkan (setelah penyebutan mubtada’), dan mereka (orang
arab/ahli nahwu) memperbolehkan mendahulukan khabar bilamana tidak ada
kemudharatan (aman dari ketidakjelasan antara khabar dan mubtada’nya).
F.PELARANGAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI
MUBTADA’NYA
·
Sama Nakirah atau Ma’rifat
فَامْنَعْهُ
حِيْنَ يَسْتَوِى الْجُزْءآنِ ¤ عُرْفَــــاً وَنُكْـــرَاً عَــادِمَيْ
بَيَـــانِ
Maka cegahlah
mendahulukan Khabar…! ketika kedua juz (khabar & mubtada’)
serupa ma’rifah-nya atau nakirah-nya, dalam situasi keduanya tidak ada
kejelasan. (karena dalam hal ini, pendengar atau pembaca tetap menganggap
khabarlah yang dibelakang)
·
Khabar dari kalimah Fi’il atau Khabar yg di-mahshur
كَذَا
إذَا مَا الْفِعْلُ كَانَ الْخَبَرَا ¤ أَوْ قُــصِدَ اسْتِعَمَــالُهُ
مُنْحَصِرَا
Demikian juga dilarang
khabar didahulukan, bilamana ia berupa kalimah Fi’il sebagai khabarnya (karena
akan merubah susunan kalimat menjadi jumlah Fi’liyah/fi’il dan fa’il). Atau
dilarang juga (menjadikan Khabar muqaddam) yaitu penggunaan khabar dengan
maksud dimahshur/dipatoki (dengan اِنَّمَا atau اِلاَّ).(karena fungsi
me-mahshur-kan khabar adalah untuk meng-akhirkannya).
·
Khabar bagi Mubtada’ yg ber-Lam Ibtida’ atau Mubtada’ dari Isim
Shadar Kalam
أَوْ
كَانَ مُسْنَدَاً لِذِي لاَمِ ابْتِدَا ¤ أَوْ لاَزِم الْصَّدْرِ كَمَنْ لِي
مُنْجِدَا
Atau dilarang juga (khabar
didahukukan) yaitu menjadikan Khabar disandarkan pada Mubtada’ yg mempunyai lam
ibtida’ (karena kedudukan Lam Ibtida’ adalah sebagai Shadar Kalam/permulaan
kalimat). Atau disandarkan kepada mubtada’ yang semestinya berada di awal
kalimat seperti contoh: مَنْ لِي مُنْجِدَا “siapakah sang penolong
untuk ku?” (mubtada’ dari
isim istifham).
F.KHABAR WAJIB
DIDAHULUKAN DARI MUBTADA’NYA (KHABAR MUQADDAM & MUBTADA’ MUAKHKHAR)
وَنَحْوُ
عِنْدِي دِرْهَمٌ وَلِي وَطَرْ ¤ مُلتـــزَمٌ فِيـــــهِ تَقَــــدُّمُ الخَـــبَرْ
Contoh seperti عِنْدِي
دِرْهَمٌ “aku
punya dirham” (yakni,
khabarnya terdiri dari Zharaf dan Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) dan
لِي وَطَرْ “aku
ada keperluan” (yakni, khabarnya terdiri dari Jar-majrur dan Mubtada’nya
terdiri dari isim Nakirah) adalah diwajibkan pada contoh ini mendahulukan
Khabar.
كَذَا
إِذَا عَادَ عَلَيْهِ مُضْمَرُ ¤ مِمَّــا بِهِ عَنْهُ مُبِينــاً يُخْــبَرُ
Seperti itu juga wajib
mendahulukan khabar, bilamana ada Dhamir yang tertuju kepada Khabar, tepatnya
dhamir yang ada pada Mubtada’ yang dikhabari oleh Khobanya, sebagai
penjelasan baginya (contoh: فِي الدَّارِ صَاحِبُهَا “penghuni rumah ada di
dalam rumah”)
كَذَا
إِذَا يَسْتَوْجِبُ التَّصْديرا ¤ كَـأَيْــنَ مَـنْ عَـلِمْــتَهُ نَصِــيرَا
Demikian juga wajib khabar
didahulukan dari mubtada’, bilamana khabar tsb sepantasnya
ditashdirkan/dijadikan pembuka kalimat. Seperti contoh: أَيْــنَ مَـنْ
عَـلِمْــتَهُ نَصِــيرَا “dimanakah ia yang kamu yakini sebagai penolong?” (khabarnya
terdiri dari Isim Istifham).
وَخَبَرَ
الْمَحْصُورِ قَدِّمْ أبَدَا ¤ كَمَالَنَـــا إلاَّ اتِّبَـــاعُ
أحْمَــدَا
Dahulukanlah…!
Selamanya terhadap Khabar yang dimahshur (dengan انما atau الا ) contoh:
مَالَنَا إلاَّ اتِّبَاعُ أحْمَدَا “tidaklah kami mengikuti kecuali ikut kepada
Ahmad”
PERIHAL KEBOLEHAN
MEMBUANG KHABAR ATAU MUBTADA
·
contoh boleh membuang Khabar
وَحَذفُ
مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا ¤ تَقُوْلُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَكُمَا
Membuang suatu yang
sudah dimaklumi adalah boleh, sebagaimana kamu menjawab: زَيْدٌ “Zaid” setelah pertanyaan:
مَنْ عِنْدَكُمَا “Siapakah yg bersama kalian?“
·
contoh boleh membuang mubtada’
وَفِي
جَوَابِ كَيْفَ زَيْدٌ قُلْ دَنِفْ ¤ فَــزَيْدٌ اسْتُغْــنِيَ عَـنْهُ إِذْ
عُـرِفْ
juga didalam jawaban
pertanyaan contoh: كَيْفَ زَيْدٌ “Bagaimana Zaid?”, jawab saja! دَنِفْ “Sakit“.maka dicukupkan tanpa perkataan zaid, karena
sudah diketahui.
G.KHABAR YANG WAJIB
DIBUANG
وَبَعْدَ
لَوْلاَ غَالِبَاً حَذْفُ الْخَبَرْ ¤ حَتْمٌ وَفِي نَصِّ يَمِيْنٍ ذَا
اسْتَقَرْ
Lazimnya setelah
lafazh LAULAA, membuang khabar adalah wajib (contohnya: لولا زيدٌ لأتيتُكَ “andaikata tidak ada Zaid,
sungguh aku telah mendatangimu“). Juga didalam penggunaan Mubtada’ nash sumpah, demikian ini
(hukum wajib membuang khabar) tetap berlaku (contohnya: لَعَمْرُكَ لأفْعَلَنَّ
“demi hidupmu… sungguh
akan kukerjakan“).
وَبَعْدَ
وَاوٍ عَيَّنَتْ مَفْهُوْمَ مَعْ ¤ كَمِثْلِ كُلُّ صَــانِعٍ وَمَــا
صَنَــعْ
juga (tetap berlaku
wajib membuang khabar) yaitu setelah Wawu yang menentukan mafhum makna Ma’a “beserta“. sebagaimana
contoh: كُلُّ صَــانِعٍ وَمَــا صَنَــعْ “Setiap yang berbuat beserta perbuatannya”.
وَقَبْلَ
حَالٍ لاَ يَكُوْنُ خَبَرَا ¤ عَنِ الَّذِي خَـبَرُهُ قَدْ أُضْمِرَا
juga (tetap berlaku
wajib membuang khabar) yaitu sebelum haal yang tidak bisa menjadi khobar (tapi
sebagai sadda masaddal-khobar/menempati kedudukan khobar) dari mubtada’ yang
khobarnya benar-benar disamarkan
كَضَرْبِيَ
الْعَبْدَ مُسِيْئاً وَأَتَـمّ ¤ تَبْيِيني الْحَــقَّ مَنُـوْطَاً
بِالْحِـكَمْ
Seperti contoh :
“Dhorbiyal ‘Abda Masii-an” = pukulanku pada hamba bilamana ia berbuat tidak
baik (yakni, mubtada’ dari isim masdar dan sesudahnya ada haal menempati
kedudukan khobar) dan contoh “Atammu Tabyiiniy al-haqqa manuuthon bil-hikam” =
paling finalnya penjelasanku bilamana sudah manut/sesuai dengan hukum.
SYIBHUL JUMLAH
شِبْهُ الْجُمْلَةِ
Syibhul
jumlah adalah rangkaian kata yang mirip dengan jumlah
Zhorof adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan keterangan
waktu atau tempat
Contoh:
أمَامَ, وَرَاءَ –
ظَرْفُ الْمَكَانِ
بَعْدَ , قَبْلَ –
ظَرْفُ الزَّمَانِ
Isim yang
terletak setelah huruf jer dan zhorof maka secara umum berharokat akhir kasroh
(Isim Majrur)
Contoh:
مِنَ السُوْقِ – جَرٌّ وَ
مَجْرُوْرٌ
أمَامَ المَنْزِلِ – ظَرْفٌ وَ
مَجْرُوْرٌ
DAFTAR
PUSTAKA
Nuha Ulin. 2015. Buku Lengkap Kaidah-Kaidah
Nahwu. Jogjakarta: DIVA Press
E-book. Matan Alfiyah Ibnu Malik