Sabtu, 08 April 2017

MENGI’ROB MUBTADA’, KHABAR, KHABAR MUQADDAM, MUBTADA’-MUAKHAR, KABAR JUMLAH DAN SYIBH JUMLAH

MAKALAH

MENGI’ROB MUBTADA’, KHABAR, KHABAR MUQADDAM, MUBTADA’-MUAKHAR, KABAR JUMLAH DAN SYIBH JUMLAH
 










Disusun Oleh: Phuyi hayati
NIM:6571010115127
Semester         : Empat
  Dosen             : Hermanto, SS



JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH OTTO ISKANDAR DINATA /OTISTA
Jl. Raya Puspiptek, gang.salem III Rt/002 Rw/007Serpong


Kata Pengantar    

Segala puji hanya milik Allah Swt,Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas makalah iniguna memenuhi tugas mata kuliah QIROATUL KUTUB I. Semoga makalah sayayang sangat sederhana ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan agama Islam didalam profesi keguruan.
Harapan saya makalah saya ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena  pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu kepada Dosen pembimbing, saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

















Daftar  Isi


Kata Pengantar……………………………………………………..    i
Daftar Isi…………………………………………………………....    ii
PEMBAHASAN……………………………………………….…… 1
A.Pengertian I’rab…………………………………….…..   1
B.Macam-macam  I’rab……………………………….... 1
C.Tanda Asal I’rab………………………. …………….... 1
DASAR-DASAR KALIMAT SUSUNAN JUMLAH ISMIYAH….   5
A.I’rab Mubtada dan Khabar
B. Khabar dan Bentuk-bentuknya………………………………….   6
C. Syarat Kebolehan Mubtada dari Isim Nakirah…………………..  7
D. Perihal Kebolehan Mendahulukan  Khabar dari Mubtada……...  7
E. Pelarangan Mendahulukan Khabar dari Mubtadanya………… 8
F. Khabar Wajib di Dahulukan dari Mubtadanya……………….... 8
G. Khabar yang Wajib di Buang…………………………………….  9
SYIBHUL JUMLAH………………………………………………..   10
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..  11

Pembahasan

A.    Pengertian ‘irab
Para ulama nahwu mendefinisikan ‘irabdengan berbagai bentuk yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan tersaebut mengarah pada tujuan dan maksud yang sama. Menurut Syekh Zaini Dahlan dalam kitab Matan al- jurumiyah, ‘irab adalah perubahan keadaan akhir kata karena perbedaan beberapa amil (penyebab perubahan akhir kata) yang menyertainya, baik secara lafal maupun perkiraan.
Hal ini serupa dengan pendapat Musthafa al-Ghalayain dan Ahmad al- Hasyimi.Mereka mrnyatakan bahwa ‘irab adalah perubahan akhir kata karena perbedaan amil-amil yang masuk pada kata yang dimaksud.Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa segala sesuatu yang berubah karena amil maka disebut ‘irab.
Adapun yang perlu kita tekankan di sini adalah bahwa amil yang mempengaruhi perubahan bentuk akhir sebuah kata harus terletak sebelum kata (mendahului kata tertentu). Jika amil itu tidak memberikan suatu pengaruh terhadap kata (tidak berubahharakat akhir katanya) maka tidak bisa disebut ‘irab[1]

B.           MACAM-MACAM I’RAB
وَالْرَّفْعَ وَالْنَّصْبَ اجْعَلَنْ إعْرَابَا ¤ لاسْــمٍ وَفِــعْــلٍ نَحْـوُ لَنْ أَهَـــــابَا
Jadikanlah Rofa’ dan Nashab sebagai I’rab (sama bisa) untuk Isim dan Fi’il, seperti lafadz Lan Ahaba.
وَالاسْمُ قَدْ خُصِّصَ بِالْجَرِّ كَمَا ¤ قَــدْ خُصِّصَ الْفِعْـلُ بِأَنْ يَنْـجَزِمَا
Kalimah Isim dikhususi dengan I’rab Jarr, sebagaimana juga Fi’il dikhususi dengan dii’rab Jazm.[2]

C.          TANDA ASAL I’RAB
فَارْفَعْ بِضَمَ وَانْصِبَنْ فَتْحَاً وَجُرْ ¤ كَسْــــــرَاً كَــذِكْرُ اللَّهِ عَبْــدَهُ يَسُـرْ
Rofa’kanlah olehmu dengan tanda Dhommah, Nashabkanlah! Dengan tanda Fathah, Jarrkanlah! Dengan tanda Kasrah.Seperti lafadz Dzikrullahi ‘Abdahu Yasur.



وَاجْزِمْ بِتَسْكِيْنٍ وَغَيْرُ مَا ذُكِرْ ¤ يَنُــوْبُ نَحْوُ جَا أَخْــو بَنِي نَمِــرْ
Dan Jazmkanlah! Dengan tanda Sukun.Selain tanda-tanda yang telah disebut, merupakan penggantinya. Seperti lafadz: Jaa Akhu Bani Namir.[3]

TANDA I’RAB ASMAUS SITTAH
وَارْفَعْ بِــوَاوٍ وَانْصِبَنَّ بِالأَلِفْ ¤ وَاجْرُرْ بِيَاءٍ مَا مِنَ الأَسْمَا أَصِفْ
Rofa’kanlah dengan Wau, Nashabkanlah dengan Alif, dan Jarrkanlah dengan Ya’, untuk Isim-Isim yang akan aku sifati sebagai berikut (Asmaus Sittah):
مِنْ ذَاكَ ذُو إِنْ صُحْبَةً أَبَانَا ¤ وَالْفَــــــمُ حَيْثُ الْمِيْمُ مِنْهُ بَانَا
Diantara Isim-Isim itu (Asmaus Sittah) adalah Dzu jika difahami bermakna Shahib (yg memiliki), dan Famu sekiranya Huruf mim dihilangkan darinya.
أَبٌ آخٌ حَـــمٌ كَـــذَاكَ وَهَـــنُ ¤ وَالْنَّقْصُ فِي هذَا الأَخِيْرِ أَحْسَنُ
Juga Abun, Akhun, Hamun, demikian juga Hanu. Tapi dii’rab Naqsh untuk yang terakhir ini (Hanu) adalah lebih baik.
وَفِي أَبٍ وَتَـالِيَيْهِ يَنْـــدُرُ ¤ وَقَصْرُهَا مِنْ نَقْصِهِنَّ أَشْهَرُ
Dan untuk Abun berikut yang mengiringinya (Akhun dan Hamun) jarang diri’rab Naqsh, sedangkan dii’rab Qoshr malah lebih masyhur daripada I’rab Naqshnya.
وَشَرْطُ ذَا الإعْرَابِ أَنْ يُضَفْنَ لاَ ¤ لِلْيَــا كَــجَا أَخْــو أَبِيْـــكَ ذَا اعْـــتِلاَ
Syarat I’rab ini (Rafa’ dg wau, Nasha dg Alif, dan Jarr dg Ya’ pada Asmaus Sittah) harus Mudhaf kepada selain Ya’ Mutakallim. Seperti: Jaa Akhu Abiika Dza-’tilaa.[4]

TANDA I’RAB ISIM TATSNIYAH DAN MULHAQNYA
بِالأَلِفِ ارْفَع الْمُثَنَّى وَكِلاَ ¤ إذَا بِمُـــضْمَرٍ مُضَــافَاً وُصِلاَ
Rafa’kanlah! dengan Alif terhadap Isim Mutsanna, juga lafadz Kilaa apabila tersambung langsung dengan Dhomir, dengan menjadi Mudhof.
كِلْتَا كَذَاكَ اثْنَانِ وَاثْنَتَانِ ¤ كَابْنَــيْنِ وَابْنَتَيْــنِ يَجْــرِيَانِ
Juga (Rofa’ dg Alif) lafadz Kiltaa, begitupun juga lafadz Itsnaani dan Itsnataani sama (I’rabnya) dengan lafadz Ibnaini dan Ibnataini keduanya contoh yang dijarrkan.

وَتَخْلُفُ الْيَا فِي جَمِيْعِهَا الأَلِفْ ¤ جَــــرًّا وَنَصْـــبَاً بَعْدَ فَتْـــحٍ قَدْ أُلِفْ
Ya’ menggantikan Alif (tanda Rofa’) pada semua lafadz tsb (Mutsanna dan Mulhaq-mulhaqnya) ketika Jarr dan Nashabnya, terletak setelah harkat Fathah yang tetap dipertahankan.[5]

TANDA I’RAB JAMAK MUDZAKKAR SALIM  DAN MULHAQNYA
وَارْفَعْ بِوَاوٍ وَبِيَا اجْرُرْ وَانْصِبِ ¤ سَــــــــالِمَ جَمْعِ عَــــــــامِرٍ وَمُذْنِبِ
Rofa’kanlah dengan Wau!, Jarrkan dan Nashabkanlah dengan Ya’! terhadap Jamak Mudzakkar Salim dari lafadz “‘Aamir” dan “Mudznib”
وَشِبْهِ ذَيْنِ وَبِهِ عِشْرُوْنَا ¤ وَبَابُـــهُ أُلْحِــقَ وَالأَهْــــلُوْنَا
….dan yang serupa dengan keduanya ini (“Aamir” dan “Mudznib”, pada bait sebelumnya).Dan lafadz “‘Isyruuna dan babnya”, dimulhaqkan kepadanya (I’rab Jamak Mudzakkar Salim). Juga lafadz “Ahluuna”
أوْلُو وَعَالَمُوْنَ عِلِّيّونَا ¤ وَأَرْضُـــوْنَ شَذَّ وَالْسِّـنُوْنَا
Juga lafadz “Uluu, ‘Aalamuuna, ‘Illiyyuuna dan lafazh Aradhuuna adalah contoh yang syadz (paling jauh dari definisi Jamak Mudzakkar Salim). Juga Lafadz “sinuuna….
وَبَابُهُ وَمِثْلَ حِيْنٍ قَـدْ يَرِدْ ¤ ذَا الْبَابُ وَهْوَ عِنْدَ قَوْمٍ يَطَّرِدْ
…dan babnya”. Terkadang Bab ini (bab sinuuna) ditemukan dii’rab semisal lafadz “Hiina” (dii’rab harkat, dengan tetapnya ya’ dan nun) demikian ini ditemukan pada suatu kaum (dari Ahli Nawu atau orang Arab)
وَنُوْنَ مَجْمُوْعٍ وَمَا بِهِ الْتَحَقْ ¤ فَافْــتَحْ وَقَــلَّ مَنْ بِكَــسْرِهِ نَطَــقْ
Fathahkanlah! harakah “Nun”nya Kalimat yang dijamak Mudzakkar Salim dan Mulhaqnya. Ada segelintir orang bercakap-cakap dengan mengkasrahkannya.
وَنُوْنُ مَا ثُنِّيَ وَالْمُلْحَقِ بِهْ ¤ بِعَـــكْسِ ذَاكَ اسْتَعْمَلُوْهُ فَانْتَبِهْ
Adapun “Nun”nya Kalimat yang ditatsniyahkan dan Mulhaqnya, adalah terbalik (Harakah Nun dikasrahkan). Semuanya mengamalkan demikian, maka perhatikanlah![6]

TANDA I’RAB JAMAK MU’ANNATS SALIM  DAN MULHAQNYA
وَمَا بِتَـــا وَأَلِــفٍ قَــدْ جُمِــعَا ¤ يُكْسَرُ فِي الْجَرِّ وَفِي النَّصْبِ مَعَا
Setiap Kalimah yang dijamak dengan tambahan Alif dan Ta’ (Jamak Muannats Salim) tanda Jarr dan Nashabnya sama dikasrohkan.

كَذَا أُوْلاَتُ وَالَّذِي اسْمَاً قَدْ جُعِلْ ¤ كَــــأَذْرِعَــاتٍ فِــيْهِ ذَا أَيْــضَاً قُــبِلْ
Begitu juga (Dii’rab seperti Jamak Muannats Salim) yaitu lafadz “Ulaatu”. Dan Kalimah yang sungguh dijadikan sebuah nama seperti lafadz “Adri’aatin” (nama tempat di Syam) yang demikian ini juga diberlakukan I’rab seperti Jamak Mu’annats Salim.[7]
TANDA I’RAB ISIM YANG TIDAK MUNSHORIF
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤ مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِفْ
Setiap Isim yang tidak Munshorif dijarrkan dengan Harakah Fathah, selama tidak Mudhof atau tidak jatuh sesudah AL.[8]

TANDA I’RAB AF’ALUL KHOMSAH
وَاجْعَلْ لِنَحْوِ يَفْعَلاَنِ الْنُّوْنَا ¤ رَفْـــعَاً وَتَدْعِــيْنَ وَتَسْـــــأَلُونَا
Jadikanlah! Nun sebagai tanda Rofa’ untuk contoh Kalimah-kalimah yang seperti lafadz يفعلان (Fi’il Mudhori’ yg disambung dg Alif Tatsniyah) dan lafadz  تدعين (Fi’il Mudhori’ yg disambung dg Ya’ Mu’annats Mukhatabah) dan lafadz تسألون (Fi’il Mudhori’ yg disambung dg Wau Jamak).
وَحَذْفُهَا لِلْجَزْمِ وَالْنَّصْبِ سِمَهْ ¤ كَــلَمْ تَكُــــوْنِي لِتَرُوْمِي مَـــظْلَمَهْ
Sedangkan tanda Jazm dan Nashabnya, yaitu dengan membuang Nun.seperti contoh َلمْ تَكُــــوْنِي لِتَرُوْمِي مَـــظْلَمَهْ[9]

TANDA I’RAB ISIM MU’TAL (ISIM MAQSHUR DAN ISIM MANQUSH)
وَسَمِّ مُعْتَلاًّ مِنَ الأَسْمَاءِ مَا ¤ كَالْمُصْطَفَى وَالْمُرْتَقَي مَكَارِمَا
Namailah! Isim Mu’tal, terhadap Isim-Isim yang seperti lafadz الْمُصْطَفَى (Isim yang berakhiran huruf Alif) dan seperti lafadz الْمُرْتَقَي مَكَارِمَا (Isim yang berakhiran huruf Ya’).
فَالأَوَّلُ الإِعْرَابُ فِيْهِ قُدِّرَا ¤ جَمِيْـعُهُ وَهْوَ الَّذِي قَدْ قُصِرَا
Contoh lafadz yang pertama (الْمُصْطَفَى) Semua tanda I’rabnya dikira-kira, itulah yang disebut Isim Maqshur.
وَالْثَّانِ مَنْقُوصٌ وَنَصْبُهُ ظَهَرْ ¤ وَرَفْـعُهُ يُنْــوَى كَذَا أيْضَــــاً يُجَرْ
Contoh lafadz yang kedua (الْمُرْتَقَي) dinamakan Isim Manqush, tanda Nashabnya Zhohir. Tanda Rofa’ dan juga Jarrnya sama dikira-kira.[10]

TANDA I’RAB FI’IL MU’TAL
وَأَيُّ فِعْــلٍ آخِرٌ مِنْهُ أَلِفْ ¤ أوْ وَاوٌ أوْ يَاءٌ فَمُعْتَلاًّ عُرِفْ
Setiap Kalimah Fi’il yang akhirnya huruf illat Alif , Wau atau Ya’, maka dinamakan Fi’il Mu’tal.
فَالأَلِفَ انْوِ فِيْهِ غَيْرَ الْجَزْمِ ¤ وَأَبْـــدِ نَصْبَ مَا كَيَدْعُو يَرْمِي
Kira-kirakanlah! I’rab untuk Kalimah Fi’il yang berakhiran Alif pada selain Jazmnya. Dan Zhohirkanlah! tanda nashab untuk Kalimah Fi’il yang seperti يَدْعُو (Berakhiran huruf Wau) dan يَرْمِي (Berakhiran huruf Ya’)…
والرَّفعَ فيهما انْوِ واحذِفْ جازِمَا ¤ ثــلاثَـــهُنَّ تَقــــضِ حُكمَــا لازِمَــــا
dan kira-kirakanlah! tanda Rofa’ untuk kedua lafadz (يَدْعُو dan يَرْمِي ). Buanglah (huruf-huruf illat itu) jika engkau sebagai orang yang menjazmkan ketiga Kalimah Fi’il Mu’tal tsb, maka berarti engkau memutuskan dengan Hukum yang benar.[11]

DASAR-DASAR KALIMAT SUSUNAN JUMLAH ISMIYAH
·     Mubtada’ dan Khabar
مُبْتَـدَأ زَيْدٌ وَعَـــاذِرٌ خَبَـــــرْ ¤ إِنْ قُلْتَ زَيْدٌ عَاذِرٌ مَنِ اعْتَذَرْ
Adalah Mubtada’ yaitu lafadz زيد ,  dan lafazh عاذر adalah Khabar, apabila kamu mengucapkan kalimat: زيد عاذر من اعتذر. “Zaid adalah penerima alasan bagi orang yang mengemukakan alasan”
·     Mubtada’ dan Fa’il
وَأَوَّلٌ مُبْـــتَدَأ وَالْثَّـــــانِي ¤ فَاعِلٌ اغْنَى فِي أَسَارٍ ذَانِ
Kalimah yang pertama adalah Mubtada’, dan kalimah yang kedua adalah Fa’il yang mencukupi (tanpa Khabar), didalam contoh kalimat: أ سار ذان “apakah yang berjalan malam, keduanya ini?” (أ = Huruf Istifham, سار = Isim Sifat sebagai Mubtada’, ذان = sebagai Fa’il yg menempati posisi Khabar)
وَقِسْ وَكَاسْتِفْهَامٍ النَّفْيُ وَقَدْ ¤ يَجُوْزُ نَحْوُ فَائِزٌ أولُو الرَّشَدْ
Dan kiaskanlah! (untuk contoh lain serupa أ سار ذان = yakni, Mubtada’ dari Isim sifat (isim fa’il/isim maf’ul/isim musyabbah) yang diawali Istifham/kata tanya ( أ – هَلْ – كَيْفَ – مَنْ – مَا ) dan Fa’ilnya bisa isim Zhahir atau isim Dhamir). Juga seperti Istifham yaitu Nafi ( semua nafi yang pantas masuk pada isim ( مَا – لاَ – إِنْ – غَيْرُ – لَيْسَ ) dan terkadang boleh (tanpa awalan Istifham atau Nafi tapi jarang) seperti contoh lafazh: فَائِزٌ أُولُو الرَّشَدْ “Yang beruntung mereka yg mendapat petunjuk”
وَالْثَّانِ مُبْتَدَا وَذَا الْـوَصْفُ خَــبَرْ ¤ إِنْ فِي سِوَى الإِفْرَادِ طِبْقاً اسْتَقَرْ
Kalimah yg kedua adalah mubtada’ (menjadi Mubtada’ muakhkhar). Dan Isim Sifatnya ini (kalimah yg pertama) adalah Khabar (menjadi Khabar Muqaddam), apabila pada selain bentuk mufradnya ia menetapi kecocokan (yakni, sama-sama berbentuk Mutsanna atau jama’ misal: أ ساران ذان).[12]





A.I’RAB MUBTADA’ DAN KHABAR
وَرَفَعُـــوا مُبْتَدَأ بالابْــتَدِا¤ كَذَاكَ رَفْعُ خَبَرٍ باْلمُبْتَدَأ
Mereka (orang arab) me-rofa’kan Mubtada’ karena sebab Ibtida’ (‘Amil secara Ma’nawi, yakni menjadikan isim sebagai Pokok/Subjek kalimat, dikedepankan sebagai sandaran bagi kalimah lain sekalipun secara Lafzhi ada di belakang (mubtada’ muakhkhar)). Demikian juga rofa’-nya Khobar disebabkan oleh Mubtada’.

B.KHABAR DAN BENTUK-BENTUKNYA
·         Pengertian Khabar
وَالْخَبَرُ الْجُزْء الْمُتِمُّ الْفَائِدَهْ ¤ كَاللَّه بَرُّ وَالأَيَـادِي شَـاهِدَهْ
Pengertian Khabar adalah juz/bagian penyempurna faidah, yang seperti kalimat: اللهُ بَرٌّ وَالأَيَادِي شَاهِدَةٌ “Allah adalah maha pemberi kabajikan. Dan kejadian-kejadian besar adalah sebagai saksi”.
·         Khabar Jumlah
وَمُفْــرَدَاً يَأتِي وَيَأتِـي جُــمْلَهْ ¤ حَاوِيَةً مَعْنَى الَّذِي سِيْقَتْ لَهْ
Khabar ada yang datang berbentuk Mufrad (Khabar Mufrad, tidak terdiri dari susunan kata). Dan ada yang datang berbentuk Jumlah (Khabar Jumlah, tersusun dari beberapa kata) yg mencakup ada makna mubtada’(ada Robit/pengikat antara Mubtada’ dan Khabar jumlahnya), dimana Jumlah tsb telah terhubung (sebagai khobar) bagi Mubtada’nya.
وَإِنْ تَكُـنْ إيَّـاهُ مَعْنَى اكْتَـــفَى ¤ بِهَا كَنُطْقِي اللَّهُ حَسْبِي وَكَفَى
Dan apabilah Jumlah tsb sudah berupa makna mubtada’, maka menjadi cukuplah Khabar dengannya (tanpa Robit) seperti contoh : نُطْقِى اللهُ حَسْبِي وَكَفَى “adapun ucapanku: “Allah memadai dan cukup bagiku””

·         Khabar Mufrad
وَالْمُفْــرَدُ الْجَــامِدُ فَارِغٌ وَإِنْ ¤ يُشْتَقَّ فَهْوَ ذُو ضَمِيْرٍ مُسْتَكِنّ
Adapun khabar mufrad yang terbuat dari isim jamid (isim yang tidak bisa ditashrif ishtilahi) adalah kosong (dari dhamir) dan apabila terdiri dari isim yang di-musytaq-kan (isim musytaq hasil pecahan dari tashrif istilahi) maka ia mengandung dhamir yang tersembunyi (ada dhamir mustatir kembali kepada mubtada’/sebagai robit).
وَأَبْرِزَنْهُ مُطْلَقَـاً حَيْثُ تَلاَ ¤ مَا لَيْسَ مَعْنَاهُ لَهُ مُحَصَّلاَ
Dan sungguh Bariz-kanlah! (gunakan Dhamir Bariz, bukan Mustatir) pada khabar mufrad musytaq tsb secara mutlak (baik Dhamirnya jelas tanpa kemiripan, apalagi tidak), ini sekiranya khabar tsb mengiringi mubtada’ yang mana makna khabar tidak dihasilkan untuk mubtada’ (khabar bukan makna mubtada’).

·         Khabar dari Zharaf dan Jar-Majrur
وَأَخْبَرُوَا بِظَرْفٍ أوْ بِحَرْفِ جَرّ ¤ نَاوِيْنَ مَعْنَى كَائِنٍ أَوِ اسْتَقَــرْ
Mereka (ahli Nuhat dan orang Arab) menggunakan Khabar dengan Zharaf atau Jar-Majrur, dengan niatan menyimpan makna كَائِنٍ atau اسْتَقَرْ.
وَلاَ يَكُوْنُ اسْـمُ زَمَانٍ خَبَرَا ¤ عَنْ جُثَّةٍ وَإِنْ يُفِدْ فَأَخْبِرَا
Tidak boleh ada Isim Zaman (Zharaf Zaman) dibuat Khabar untuk Mubtada’ dari Isim dzat. Dan apabila terdapat faidah, maka sungguh jadikan ia Khabar…!.[13]

C.SYARAT KEBOLEHAN MUBTADA’ DARI ISIM NAKIRAH
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ ¤ مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah, (yakni, boleh dengan persyaratan ada faidah) seperti contoh: عِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَةُ “adalah disisi Zaid pakaian Namirah (jenis pakaian bergaris-garis yg biasa dipakai oleh orang A’rab Badwi)” (khabarnya terdiri dari zharaf atau jar-majrur yg dikedepankan dari mubtada’nya).
وَهَلْ فَتَىً فِيْكُمْ فَمَا خِلٌّ لَنَا ¤ وَرَجُــلٌ مِنَ الْكِـرَامِ عِنْدَنَا
(dan disyaratkan juga: ) seperti contoh هَلْ فَتَىً فِيكُم “adakah seorang pemuda diantara kalian?” (diawali dengan Istifham/kata tanya), dan contoh: مَا خِلٌّ لَنَا “tidak ada teman yang menemani kami” (diawali dengan Nafi), dan contoh: رَجُلٌ مِنَ الكِرَامِ عِنْدَنَا “seorang lelaki yg mulia ada disisi kami” (disifati)
وَرَغْبَةٌ فِي الْخَيْر خَيْرٌ وَعَمَلْ ¤ بِرَ يَزِيْنُ وَلْيُقَسْ مَا لَمْ يُقَـلْ
dan contoh: رَغْبَةٌ فِي الخَيْرِ خَيْرٌ “gemar dalam kebaikan adalah baik” (mengamal), dan contoh: عَمَلُ بِرٍّ يَزِينُ“berbuat kebajikan menghiasi (hidupnya)” (mudhaf). Dan dikiaskan saja! contoh lain yang belum disebut.

D.PERIHAL KEBOLEHAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’
وَالأَصْلُ فِي الأَخْبَارِ أَنْ تُؤخَّرَا¤ وَجَـوَّزُوَا الْتَّقْــدِيْمَ إِذْ لاَ ضَــرَرَا
Asal penyebutan Khabar tentunya harus di-akhirkan (setelah penyebutan mubtada’), dan mereka (orang arab/ahli nahwu)  memperbolehkan mendahulukan khabar bilamana tidak ada kemudharatan (aman dari ketidakjelasan antara khabar dan mubtada’nya).




F.PELARANGAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’NYA
·         Sama Nakirah atau Ma’rifat
فَامْنَعْهُ حِيْنَ يَسْتَوِى الْجُزْءآنِ ¤ عُرْفَــــاً وَنُكْـــرَاً عَــادِمَيْ بَيَـــانِ
Maka cegahlah mendahulukan Khabar…!  ketika  kedua juz (khabar & mubtada’) serupa ma’rifah-nya atau nakirah-nya, dalam situasi keduanya tidak ada kejelasan. (karena dalam hal ini, pendengar atau pembaca tetap menganggap khabarlah yang dibelakang)

·         Khabar dari kalimah Fi’il atau Khabar yg di-mahshur
كَذَا إذَا مَا الْفِعْلُ كَانَ الْخَبَرَا ¤ أَوْ قُــصِدَ اسْتِعَمَــالُهُ مُنْحَصِرَا
Demikian juga dilarang khabar didahulukan, bilamana ia berupa kalimah Fi’il sebagai khabarnya (karena akan merubah susunan kalimat menjadi jumlah Fi’liyah/fi’il dan fa’il). Atau dilarang juga (menjadikan Khabar muqaddam) yaitu penggunaan khabar dengan maksud dimahshur/dipatoki (dengan اِنَّمَا atau اِلاَّ).(karena fungsi me-mahshur-kan khabar adalah untuk meng-akhirkannya).
·         Khabar bagi Mubtada’ yg ber-Lam Ibtida’ atau Mubtada’ dari Isim Shadar Kalam
أَوْ كَانَ مُسْنَدَاً لِذِي لاَمِ ابْتِدَا ¤ أَوْ لاَزِم الْصَّدْرِ كَمَنْ لِي مُنْجِدَا
Atau dilarang juga (khabar didahukukan) yaitu menjadikan Khabar disandarkan pada Mubtada’ yg mempunyai lam ibtida’ (karena kedudukan Lam Ibtida’ adalah sebagai Shadar Kalam/permulaan kalimat). Atau disandarkan kepada mubtada’ yang semestinya berada di awal kalimat seperti contoh: مَنْ لِي مُنْجِدَا “siapakah sang penolong untuk ku?” (mubtada’ dari isim istifham).

F.KHABAR WAJIB DIDAHULUKAN DARI MUBTADA’NYA (KHABAR MUQADDAM & MUBTADA’ MUAKHKHAR)
وَنَحْوُ عِنْدِي دِرْهَمٌ وَلِي وَطَرْ ¤ مُلتـــزَمٌ فِيـــــهِ تَقَــــدُّمُ الخَـــبَرْ
Contoh seperti عِنْدِي دِرْهَمٌ “aku punya dirham” (yakni, khabarnya terdiri dari Zharaf dan Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) dan لِي وَطَرْ  “aku ada keperluan” (yakni, khabarnya terdiri dari Jar-majrur dan Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) adalah diwajibkan pada contoh ini mendahulukan Khabar.
كَذَا إِذَا عَادَ عَلَيْهِ مُضْمَرُ ¤ مِمَّــا بِهِ عَنْهُ مُبِينــاً يُخْــبَرُ
Seperti itu juga wajib mendahulukan khabar, bilamana ada Dhamir yang tertuju kepada Khabar, tepatnya dhamir yang ada pada Mubtada’ yang  dikhabari oleh Khobanya, sebagai penjelasan baginya (contoh: فِي الدَّارِ صَاحِبُهَا  “penghuni rumah ada di dalam rumah”)
كَذَا إِذَا يَسْتَوْجِبُ التَّصْديرا ¤ كَـأَيْــنَ مَـنْ عَـلِمْــتَهُ نَصِــيرَا
Demikian juga wajib khabar didahulukan dari mubtada’, bilamana khabar tsb sepantasnya ditashdirkan/dijadikan pembuka kalimat. Seperti contoh: أَيْــنَ مَـنْ عَـلِمْــتَهُ نَصِــيرَا “dimanakah ia yang kamu yakini sebagai penolong?” (khabarnya terdiri dari Isim Istifham).
وَخَبَرَ الْمَحْصُورِ قَدِّمْ أبَدَا ¤ كَمَالَنَـــا إلاَّ اتِّبَـــاعُ أحْمَــدَا
Dahulukanlah…! Selamanya terhadap Khabar yang dimahshur (dengan انما atau الا ) contoh: مَالَنَا إلاَّ اتِّبَاعُ أحْمَدَا  “tidaklah kami mengikuti kecuali ikut kepada Ahmad”

PERIHAL KEBOLEHAN MEMBUANG KHABAR ATAU MUBTADA
·         contoh boleh membuang Khabar
وَحَذفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا ¤ تَقُوْلُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَكُمَا
Membuang suatu yang sudah dimaklumi adalah boleh,  sebagaimana kamu menjawab: زَيْدٌ “Zaid” setelah pertanyaan: مَنْ عِنْدَكُمَا “Siapakah yg bersama kalian?
·         contoh boleh membuang mubtada’
وَفِي جَوَابِ كَيْفَ زَيْدٌ قُلْ دَنِفْ ¤ فَــزَيْدٌ اسْتُغْــنِيَ عَـنْهُ إِذْ عُـرِفْ
juga didalam jawaban pertanyaan contoh: كَيْفَ زَيْدٌ “Bagaimana Zaid?”, jawab saja! دَنِفْ “Sakit“.maka dicukupkan tanpa perkataan zaid, karena sudah diketahui.

G.KHABAR YANG WAJIB DIBUANG
وَبَعْدَ لَوْلاَ غَالِبَاً حَذْفُ الْخَبَرْ ¤ حَتْمٌ وَفِي نَصِّ يَمِيْنٍ ذَا اسْتَقَرْ
Lazimnya setelah lafazh LAULAA, membuang khabar adalah wajib (contohnya: لولا زيدٌ لأتيتُكَ “andaikata tidak ada Zaid, sungguh aku telah mendatangimu“). Juga didalam penggunaan Mubtada’ nash sumpah, demikian ini (hukum wajib membuang khabar) tetap berlaku (contohnya: لَعَمْرُكَ لأفْعَلَنَّ “demi hidupmu… sungguh akan kukerjakan“).
وَبَعْدَ وَاوٍ عَيَّنَتْ مَفْهُوْمَ مَعْ ¤ كَمِثْلِ كُلُّ صَــانِعٍ وَمَــا صَنَــعْ
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu setelah Wawu yang menentukan mafhum makna Ma’a “beserta“.  sebagaimana contoh: كُلُّ صَــانِعٍ وَمَــا صَنَــعْ “Setiap yang berbuat beserta perbuatannya”.
وَقَبْلَ حَالٍ لاَ يَكُوْنُ خَبَرَا ¤ عَنِ الَّذِي خَـبَرُهُ قَدْ أُضْمِرَا
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu sebelum haal yang tidak bisa menjadi khobar (tapi sebagai sadda masaddal-khobar/menempati kedudukan khobar) dari mubtada’ yang khobarnya benar-benar disamarkan
كَضَرْبِيَ الْعَبْدَ مُسِيْئاً وَأَتَـمّ ¤ تَبْيِيني الْحَــقَّ مَنُـوْطَاً بِالْحِـكَمْ
Seperti contoh : “Dhorbiyal ‘Abda Masii-an” = pukulanku pada hamba bilamana ia berbuat tidak baik (yakni, mubtada’ dari isim masdar dan sesudahnya ada haal menempati kedudukan khobar) dan contoh “Atammu Tabyiiniy al-haqqa manuuthon bil-hikam” = paling finalnya penjelasanku bilamana sudah manut/sesuai dengan hukum.


SYIBHUL JUMLAH


شِبْهُ الْجُمْلَةِ
Syibhul jumlah adalah rangkaian kata yang mirip dengan jumlah
Zhorof adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan keterangan waktu atau tempat
Contoh:
أمَامَ, وَرَاءَ – ظَرْفُ الْمَكَانِ
بَعْدَ , قَبْلَ – ظَرْفُ الزَّمَانِ
Isim yang terletak setelah huruf jer dan zhorof maka secara umum berharokat akhir kasroh (Isim Majrur)
Contoh:
مِنَ السُوْقِ – جَرٌّ وَ مَجْرُوْرٌ
أمَامَ المَنْزِلِ – ظَرْفٌ وَ مَجْرُوْرٌ


DAFTAR  PUSTAKA
Nuha Ulin. 2015. Buku Lengkap Kaidah-Kaidah Nahwu. Jogjakarta: DIVA Press
E-book. Matan Alfiyah Ibnu Malik






[1].Ulin Nuha, Kaidah-kaidah Nahwu (Jogjakarta,2015) Hal.25
[2]E-book, Matan Alfiyah hlm; 3-4
[3]Ibid., hlm 4
[4]Ibid., hlm 4
[5]Ibid., hlm 4
[6]Ibid., hlm 5
[7]Ibid., hlm 6
[8] Ibid., hlm 6
[9] Ibid., hlm 6
[10]Ibid., hlm 6
[11]Ibid., hlm 7
[12]Ibid., hlm 19
[13]Ibid., hlm 20